Senin, 07 Maret 2011

Lucid Dreaming

Lucid dreaming atau mimpi di mana seseorang menyadari bahwa dia sedang bermimpi saat mimpi sedang berlangsung. Lucid dreaming biasanya terjadi ketika di tengah-tengah mimpi, baik itu mimpi buruk maupun mimpi indah, seseorang tiba-tiba menyadari bahwa ia sedang bermimpi. Orang tersebut bisa dikatakkan “lucid”, yang mana merupakan salah satu dari tingkat lucidity. Pada tingkat terendah, pemimpi mungkin samar-samar menyadari bahwa ia sedang bermimpi, tetapi ia tidak berpikir cukup rasional untuk menyadari bahwa peristiwa yang dialaminya dalah mimpi atau tidak nyata. Sedangkan pada tingkat tertinggi, si pemimpi menyadari sepenuhnya bahwa ia sedang tidur, dan memiliki kontrol penuh atas tindakkan atau dirinya sendiri di dalam mimpi.

Seseorang yang sering mengalami mimpi buruk dapat memperoleh manfaat dari kemampuan untuk menyadari kalau mereka benar-benar sedang bermimpi. Sebuah penelitian pada tahun 2006 menujukkan bahwa lucid dreaming berhasil mengurangi frekuensi mimpi buruk yang dialami seseorang. Terapi ini tidak hanya dapat mengurangi mimpi buruk saja tapi juga depresi, self-mutilation (melukai diri sendiri), dan masalah lainnya yang berhubungan dengan psikologi seseorang.

Dream recolletion adalah kemampuan untuk mengingat mimpi. Mengingat mimpi merupakan langkah pertama menuju lucid dreaming. Untuk meningkatkan ingatan tentang mimpinya, beberapa orang menulis atau merekam mimpi saat ia terbangu dan segera menulisnya ke dalam jurnal. Penting sekali untuk segera mencatat mimpi, karena ada kecenderungan yang kuat bahwa seseorang akan segera melupakan apa yang tadi di mimpikannya. Cara mengingat mimpi yang baik adalah dengan menutup mata ketika mengingat mimpi, kemudian langsung menatatnya.

Kadang kalanya seseorang mengalami false awakening, yaitu mimpi di mana Anda seolah-olah sudah bangun dari tidur, padahal Anda sedang bermimpi. Selama fenomena ini, ruangan tempat si pemimpi bangun, sering mirip dengan ruangan di mana ia awalnya tertidur. Pemimpi kadang percaya bahwa mereka tidak lagi bermimpi dan mulai melakukan aktifitasnya sehari-hari. Mengompol adalah salah satu bukti bahwa seseorang mimpi telah terbangun, dan kemudian buang air kecil.

Meditasi sebelum tidur juga dapat meningkatkan terjadinya lucid dreaming, karena berpotensi memenimalkan waktu yang dibutuhkan bagi seseorang untuk tertidur, sehingga meningkatkan peluang mempertahankan kesadaran untuk mendapatkan mimpi yang jernih.

Sleep Paralysis

Sleep Paralysis atau kelumpuhan saat tidur adalah suatu bentuk menakutkan dari kelumpuhan yang terjadi ketika seseorang tiba-tiba menemukan dirinya tidak bisa berbicara dan bergerak untuk beberapa menit setelah terbangun dari tidur (hynopompic) atau ketika Anda tidur (hyponogogic).

Gejala dari sleep paralysis adalah:

  • Ketidakmampuan tubuh untuk menggerakkan anggota badan, baik saat tidur maupun saat terbangun.
  • Kelumpuhan otot tulang sebagian atau seluruhnya.
  • Perasaan tercekik atau sulit bernapas.
  • Berhalusinasi dengan mendengar suara-suara aneh seperti langkah kaki, atau pun melihat bayangan berupa sosok seseorang.

Berikut beberapa faktor yang dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya sleep paralysis, yaitu:

  • Tidur dengan posisi telentang
  • Peningkatan stres
  • Perubahan gaya hidup yang tiba-tiba
  • Sedang mengalami mimpi buruk ketika tidur
  • Kurang tidur ditambah denga konsumsi alkohol yang berlebihan.

Sleep paralysis sering dikaitkan dengan narkolepsi, yaitu kondisi neurologis di mana seseorang tidur tak terkendali. Penyebab dari narkolepsi tidak diketahui, gangguan neurologis ini dicirikan dengan kantuk yang berlebihan kemudian diikuti dengan kelumpuhan otot dan halusinasi hypnagogic (mimpi pra-tidur).

Sleep paralysis biasanya tidak berbahaya. Hal ini biasanya terjadi hanya satu atau dua menit saja, segera setelah otak dan tubuh berhubungan kembali dan orang tersebut dapat menggerakkan tubuhnya kembali. Namun, memori dari sensasi yang mengerikan atau mimpi buruk biasanya dapat bertahan lama. Hal ini juga tidak memiliki arti mimpi apa-apa. Beberapa kepercayaan mengatakan kalau sleep paralysis disebabkan oleh mahluk halus atau roh-roh jahat, sihir, alien dan hal-hal yang di luar nalar lainnya.Untuk mengetahui bagaimana tubuh mengalami kelumpuhan sementara, Anda perlu untuk mengetahui siklus tidur.

Ketika seseorang tidur, aktifitas otak mengalami dua hal berbera yang disebut REM (rapid eye movement)tidur dan Non-REM tidur. Non-REM selama tidur akan menghasilkan gerakkan selagi Anda tidur, seperti berbicara dalam tidur atau berjalan ketika tidur. Sedangkan REM akan mempengaruhi denut jantung, laju respirasi dan tekanan darah ketika tidur. Selama proses REM, otak mengontrol semua otot, sehingga terjadi kelumpuhan untuk mencegah seseorang bertindak di luar mimpinya, seperti seseorang yang bermimpi sedang berpkelahi, dia akan melakukan gerakkan memukul dan menendang istrinya yang tidur di sebelahnya.

Oleh sebab itu, untuk membatasinya, otak mengirimkan sinyal untuk menghambat kontraksi otot.
Hal-hal yang fatal dari sleep paralysis dapat terjadi seperti beberapa kasus di mana seseorang meninggal dalam tidur mereka, yang kadang-kadang berjuang untuk bernapas, tetapi tanpa bergerak atau menggelepar.Anda dapat meringankan gejala sleep paralysis dengan beberapa cara berikut:

  • Cukup tidur
  • Jangan stres
  • Berolah raga secara teratur tetapi jangan terlalu dekat dengan waktu tidur
  • Jika sleep paralysis sering terjadi, cobalah untuk mengkonsultasikannya kepada psikolog atau dokter

Rabu, 02 Maret 2011

MISTIKISME

Signifikansi Mistikisme di jaman modern

Sebuah dunia yang sama-sekali tanpa mistik

merupakan sebuah dunia yang sepenuhnya buta

dan amat sangat menyedihkan.

~ Aldous Huxley.

Entah kenapa, walau di kalangan mereka yang cukup terdidik sekalipun, masih saja ditemukan kesalah-pengertian akan apa itu “mistik”. Tak sedikit orang yang mengkonotasikannya sebagai klenik, bahkan takhyul, ketika mendengar kata itu. Kata “mistik” sendiri berasal dari kata Latin “mysticus”, atau kata Yunani “mystikos”. Ia berarti yang berkaitan dengan misteri-misteri, dengan sesuatu yang bersifat misterius, tidak jelas, sehingga menimbulkan ketakjuban. Sebagai kepercayaan, mistikisme adalah kepercayaan yang mempercayai bahwa, pengetahuan langsung akan Tuhan, akan Kebenaran Spiritual atau akan Realititas Ultima, bisa dicapai melalui pengalaman subjektif—seperti melalui intuisi. Sebagai teori, mistikisme dimengerti sebagai sebuah teori yang memaparkan kemungkinan perolehan kemahiran intuitif terhadap pengetahuan atau kekuatan yang tiada terlukiskan. Apa artinya ini? Ini jelas berarti bahwa mistik tidaklah dapat dipersamakan dengan takhyul, dan mistikisme tidaklah berarti ilmu klenik.

Raja Yoga misalnya, juga dikenal sebagai Yoga Mistik. Namun, Sri Swami Vivekananda lebih suka menyebut Raja Yoga sebagai Yoga Psikologi, yang menurut beliau adalah, cara bersatu dengan Tuhan melalui metode psikologis. Menurutnya, yoga ini amat bersesuaian dengan mereka yang berkecenderungan mistik, yang ingin mengalisis dirinya sendiri dan memahami cara kerja pikiran manusia.

Nah....guna memperoleh pemahaman yang lebih lengkap akan pokok bahasan kita ini, berikut ini saya sajikan cuplikan tulisan Profesor Sisirkumar Ghose dari Visva-Bharati, Santiniketan, yang saya terjemahkan dari apa yang ditulisnya untuk Encyclopædia Britannica 2003.

MISTIKISME menemukan Makna Barunya.

Secara umum, mistikisme merupakan suatu pertanyaan spiritual terhadap kebijaksanaan atau kesujatian yang tersembunyi, yang bertujuan menyatu dengan Yang Ilahi atau Yang Suci dan Sakral (kerajaan transenden). Bentuk-bentuk dari mistikisme ditemukan di semua agama-agama besar dunia, melalui analogi di kalangan shamanik, dan latihan atau praktek-praktek ekstatik lain dari budaya yang tak tertulis, dan juga dalam pengalaman sekuler.

Pada abad ke-20, mistikisme —“harta karun yang tersembunyi di pusat-pusat jiwa-jiwa kita”— telah mengalami suatu pembahuruan kembali dalam kepentingan dan pengertian, dan bahkan mengalami suatu mood penuh harapan, sama dengan yang telah menandai perannya pada era-era sebelumnya. Benih-benih mood seperti itu menjadi bagian dari perasaan sejalan dengan yang dirasakan juga oleh banyak orang di dunia modern. Dengan tidak dipandangnya lagi ia sebagai agama dari kaum elite, mistikisme —atau kemampuan mistikal untuk bisa merasakan realitas transendental— kini banyak yang mengatakannya sebagai milik semua manusia, kendati hanya sedikit yang menggunakannya.

Penulis Inggris, Aldous Huxley, pernah menyatakan bahwa, “dunia yang tanpa mistikal samasekali akan merupakan dunia yang sepenuhnya buta dan amat sangat menyedihkan,” dimana pujangga India, Rabindranath Tagore, mencatat bahwa, “Manusia punya sebentuk rasa bahwa ia benar-benar merepresentasikan sesuatu yang melampaui dirinya sendiri.”

SIFAT dan SIGNIFIKANSINYA di Jaman Modern.

Tujuan dari mistikisme adalah panunggalan dengan Yang Ilahi dan Yang Suci. Jalan menuju panunggalan itu biasanya dikembangkan lewat mengikuti empat tahapan: pensucian-diri (dari nafsu-nafsu keinginan ragawi), pemurnian (dari hasrat atau kemauan keduniawian), penerangan (dari batin), dan unifikasi (dari hasrat seseorang dengan keilahian itu sendiri). Jika “manfaat dari eksistensi manusia adalah untuk menjadi Manusia, yakni untuk memantapkan kembali keharmonisan antara ia dan Status Ilahi yang asalnya memang dimilikinya, sebelum pemisahan yang mengganggu keseimbangan ini berlangsung” (The Life and Doctrine of Paracelsus), mistikisme akan senantiasa menjadi bagian dari cara untuk kembali kepada sumber makhluk-hidup, menjadi bagian dari cara guna menandingi pengalaman pengasingan-diri (dari sumber makhluk hidup) itu. Mistikisme selalu berpegang —dan yang tampaknya juga dianjurkan oleh parapsikologi— bahwa penemuan suatu elemen nonfisikal dari pribadi manusia merupakan suatu signifikansi yang terpenting di dalam pendambaannya terhadap keseimbangan di dalam suatu dunia yang tampaknya kian kacau-balau ini.

Yang tampak sebagai penyangkalan-diri dalam mistikisme, merupakan bagian dari proses psikologis atau strategi yang sebetulnya tidak benar-benar menyangkal keberadaan seseorang. Terlepas dari para penganut pinggirannya yang kegila-gilaan, bentuk-bentuk mistikisme yang lebih dewasa, memuaskan klaim-klaim dari rasionalitas, ekstasi, dan kebenaran moral.

Sesungguhnya memang ada sesuatu yang bersifat nonmental, tak logis, paradoksikal, dan tak dapat diprediksi, seputar fenomenon mistikal, akan tetapi, dengan begitu, bukan berarti ia irrasional atau antirasional ataupun sejenis “agama tanpa pikir”; melainkan —seperti yang dikatakan oleh guru-guru Zen (sekte intuitif dari Buddhis)— ia adalah pengetahuan dari jenis yang paling sahih; masalahnya hanyalah, ia tak bisa diungkap lewat kata-kata. Bilamana ada suatu misteri tentang pengalaman mistikal, itu merupakan sesuatu kontribusinya pada kehidupan dan kesadaran.

Mistikisme —sebentuk kehidupan mendalam— menunjukkan bahwa manusia sebagai suatu tempat pertemuan dari beraneka tataran realitas, lebih dari sekedar satu-dimensi. Disamping interaksi dan korespondensinya diantara jenjang-jenjang —“Yang di bawah sama dengan yang di atas; yang di atas sama dengan yang di bawah” (Tabula Smaragdina, “Emerald Tablet,” sebuah karya kimia yang dikaitkan dengan Hermes Trismegistus)— mereka samasekali tidak dimaksudkan untuk membingungkan siapapun. Sebagai sesuatu yang secara bersamaan merupakan suatu ‘praxis’ (teknik) dan juga suatu ‘gnosis’ (pengetahuan esoterik), mistikisme terdiri dari jalan atau disiplin.

Hubungan antara agama keyakinan dengan mistikisme (“agama pribadi yang dibangkitkan menuju kekuatan tertinggi”) bermakna ganda, sebuah campuran antara penghormatan dan rasa was-was. Walaupun mistikisme bisa diasosiasikan dengan agama, namun itu tidaklah perlu. Mistikus acapkali merepresentasikan sesuatu yang tidak direpresentasikan dan tidak bisa dihasilkan oleh institusi religius (gereja misalnya), yang malah seringkali tidak tahu harus berbuat apa kalau sesuatu serupa itu muncul. Seperti komentar William Ralph Inge, seorang theologian Inggris, “institusionalisme dan mistikisme telah menjadi teman seranjang yang tak akur.” Kendati mistikisme merupakan inti dari Hinduisme dan Buddhisme, ia hanya sedikit lebih dari seutas benang minor —dan bahkan seringkali dianggap sebagai elemen pengganggu— di kalangan Judaisme, Kristianitas, dan Islam. Seperti catatan dari filsuf politik Italia abad XV - XVI, Niccolò Machiavelli, yang mengatakan bahwa para pemimpin kehidupan biara Kristiani abad XIII, Santo Franciscus dan Santo Dominicus, ‘memelihara agama tetapi menghancurkan gereja’.

Para pendiri agama-agama mungkin saja adalah para mistikus baru atau bahkan tingkat lanjut, akan tetapi penyimpulan-penyimpulan yang lebih dalam dari pengalaman-pengalaman mereka itu lebih menyetujui dogma-dogma, krida-krida, dan larangan-larangan institusional, yang mengarah ke luar dan terorientasikan pada yang mayoritas (majority oriented). Ada agama-agama otoritas dan ada agama-agama jiwa. Jadi, ada suatu paradoks: bila minoritas mistikus ini dicurigai atau diperlakukan secara salah, kehidupan religius akan kehilangan darahnya; pada sisi lain, “orang-orang aneh” ini tidak dengan mudah bersesuaian dengan masyarakat, yang punya persyaratan-persyaratan dari suatu mayarakat yang punya ketentuan-ketentuan yang tersusun dan tak lebih dari sekedar para pendamba sensitif dari keselamatan dan para pelaku rutinitas religius belaka.

Kendati tak ada orang yang benar-benar religius yang tanpa sentuhan mistikisme, dan tiada mistikus —dalam artian yang mendalam— yang bukan orang religius, dialog antara para mistikus dengan para agamawan konvensional masih jauh dari menggembirakan. Dari kedua pihak masih terus diperlukan uraian baru dan penilaian baru, toleransi yang lebih besar lagi, dan suatu kesatuan pandang terhadap persembahyangan pribadi secara bebas. Walaupun ia menganggap sah keberadaan agama, mistikisme juga cenderung keluar dari kekangan-kekangan agama terorganisasi tersebut.

Aspek-aspek Psikologikal dari MISTIKISME.

Mistikisme telah sejak lama dituduh sebagai melangkahi status-status psikologis melalui pernyataan-pernyataan metafisikalnya. Akan tetapi dasar psikologisnya sendiri samasekali tidak pernah dipertanyakan secara serius. Betapapun juga, ia lebih sesuai disebut ‘autologi’ (pengetahuan tentang diri). Bila kata psikologi hendak dipertahankan, seharusnyalah sekarang arti asli kata itu dipahami. Kontras antara pengertiannya yang lama dengan yang baru telah diekspresikan dengan cantik oleh filsuf Rusia, P.D. Ouspensky sebagai berikut: “Tidak pernah terjadi di dalam sejarah kalau psikologi berdiri pada tataran yang sebegini rendahnya, (dimana ia) kehilangan semua sentuhannya dengan asal dan maknanya; yang malangnya, mungkin ia merupakan ilmu pengetahuan tertua di dalam ciri-cirinya yang paling esensial, sebuah ilmu pengetahuan yang terlupakan, ilmu pengetahuan tentang kemungkinan evolusi manusia”.

Mistikisme adalah ilmu pengetahuan padamana psikologi manusia bercampur dengan 'psikologi ke-Tuhan-an'. Perubahan atau orietasi utama dari tataran profan ke tataran sakral; sebentuk Kesadaran Ilahi pada manusia dan di luarnya. Sumber dan tujuan dari psikologi serupa itu, tercetuskan pada kata-kata akhir, menjelang kematian, dari pemimpin Methodist abad ke-18, John Wesley: “Yang terbaik diantara semuanya adalah, bahwasanya Tuhan bersama kita”.

Sebuah tanda penting dari kehidupan mistis adalah akses besar dari enerji dan pemekaran kesadaran, yang sedemikian besarnya, sehingga orang yang memperoleh visi ini, sedemikian rupa, menjadi makhluk lain. Rumah-besar pikiran —maqam (bhs. Arab: “tempat”), dan bhumi (bhs. Sanskrit: “bumi”)— dari yang terinisiasi terbuka sampai memandang jauh dari dunia-dunia. Ini berarti sebuah pembaharuan kembali atau konversi kalau sampai seseorang mengetahui bahwa guru manusia bukan hanya bumi ini. Sang mistikus mulai mengalirkan “makanannya” dari sumber-sumber suprasensasi. Ia “mabuk Ketiada-terbatasan seperti yang disebabkan oleh anggur raksasa”, dimana sebentuk kebahagiaan, pengetahuan, dan kekuatan tersembunyi mulai menyapu-bersih gerbang-gerbang indriawinya.

PERAN dari IDENTIFIKASI.

Status pemasukan enerji itu difasilitasikan dengan perhatian yang terkendali. Ia berupa kebiasaan untuk menambatkan pikiran hanya pada sebentuk objek atau sebentuk gagasan, sebentuk pusat kontemplasi. Menurut rumusan India, guna memuja dewa seseorang harus menjadi sepertinya —devam bhutva devam yajet. Pelatihan-pelatihan —baik fisikal maupun mental— termasuk metode-metode persembahyangan dan doa-doa, telah dikembangkan bagi tercapainya tujuan ini, sampai seseorang manunggal dengan apa yang dikontemplasikannya.

Aspek-aspek dan jajaran-jajaran kreatif dari pikiran merupakan bagian dari psikologi kaum mistikus, dan merupakan satu dari tradisi-tradisi umat manusia tertua. Psikologi India purba membedakan kesadaran ke dalam tiga tataran: status jaga (jagrat), status mimpi (svapna), dan tidur-lelap (sushupti), dan menambahkannya dengan tataran kesadaran keempat (turiya) —yang adalah kesadaran eksistensi-diri murni manusia. Skala empat serangkai ini merepresentasikan derajat-derajat tangga dari keberadaan, dengan apa manusia mendaki-balik menuju sumbernya, Keilahian Absolut. Perubahan, dari “sini” ke “sana,” bukanlah proses yang tanpa tahap kejadian semasekali. Datang periode-periode kering, deviasi-deviasi, perubahan-perubahan keras, dan cobaan-cobaan. Bilamana ada kegairahan dan pesona-pesona sorga-sorga biru, maka ada juga nyerinya patukan ular piton dan kebebasan absolut, terik dan benderangnya gurun-gurun dan “malam-malam gulita bagi sang jiwa”, untuk dilalui. Tangis-tangis kebahagiaan, horipilasi (meremangnya bulu-bulu tubuh), stigmata (tanda-tanda atau derita-derita pada tubuh), dan fenomena parapsikologis lain dikenal demi untuk berkembang.

Fase-fase awal dari suatu psikologi naturalitis tidak punya kecemasan-kecemasan di dalam mengasingkan sebagian besar dari pengalaman-pengalaman ini sebagai tumpukan tinggi usang dan kesombongan-kesombongan kolot, ketidak-teraturan, dan ketidak-wajaran —untuk menyebutkan dalam satu kata, halusinasi. Satu alasan dari pencemaran menyeluruh serupa itu bahwa penyempurna asing bagi kehidupan mistikal, tidak peduli untuk membedakan antara fenomena abnormal dengan supranormal. Bagi mereka semuanya sama. Seorang filsuf “Quaker” Amerika, Rufus Jones, mencatat bahwa psikologi —seperti yang dimengerti manusia di abad XX— bersifat empiris dan tak bertangga, yang bisa digunakan untuk menaikkan urutan empiris ini.

Menurut kaum mistikus, sebagian besar manusia hidup di penjara, bertembok tebal ego, indria-indria, serta kepentingan-kepentingan terlarang. Akan tetapi, beberapa penghuninya mengembangkan suatu hasrat untuk mengukur tembok dan bergerak ke arah horison yang terbuka, suatu petualangan gagasan-gagasan, bila tidak lebih dari itu. Jadi, hipotesis yang mungkin terasa bagaikan anjuran para malaikat pengetahuan dan cinta-kasih, yang memanggil dan membimbing manusia maju, sulit untuk diabaikan begitu saja. Akan tetapi bilamana perbedaan antara kasih dan pengetahuan sepenuhnya terpercaya, pencapaian-pencapaian manusia akan tampak sebagai hasil-hasil dari kasih, sejauh —sama halnya dengan yang diyakini oleh Aristotle— si intelek dengan sendirinya tidak akan menggerakkan apapun.

Tanpa kendali dan tarikan yang dirasakan di hati, mistikisme akan kehabisan tenaga dan bisa “mengambang dalam diam”, seperti yang kadang-kadang terjadi. Untuk menghendaki juga apa yang dikehendaki-Nya, merupakan rahasia dari semua rahasia. “Tidak ada yang membakar di neraka selain kemauan sendiri” (dari Theologia Germanica). Seorang mistikus tetap mendekati pengetahuan dan mobilitas ini, kendati ia terpaksa menarik diri dari masyarakat untuk jangka panjang maupun pendek. Akan tetapi, penarikan tanpa kembali lagi, tidaklah lengkap.

Sebagai ilmuwan jiwa, para mistikus bersiteguh tentang keutamaan faktor-faktor di dalam. Psikoanalisis modern mengklaim sebagai telah memungkinkan pengetahuan manusia untuk mengetahui area-area gelap di bawah tataran-tataran sadarnya. Kendati ia menunjukkan bukti-bukti dari si monyet dan si macan itu, psikoanalisis masih mengalami kesulitan untuk bisa memahami kesadaran-supra, dimana oleh para mistikus, ini dilihat sebagai akibat dari kurang tepat di dalam membaca aspek-aspek yang irrasional pada diri manusia. Pesimisisme yang tak terhindarkan dari kesimpulan psikoanalisis ada dalam posisi kontras dengan kemungkinan-kemungkinan dari pengembangan-diri dan sublimasi-diri, yang malah selalu ditunjuk-tunjuk oleh mistikus.

Diantaranya, tersebutlah temuan-temuan lain di jalan mistikal yang bersifat ambivalen, atau cara-cara pengganti dalam memandang dunia: “temporal sebagai berhadapan dengan eternal”. Visi ganda, mengkarakterisasikan orang suci yang bentuk kehidupannya ada pada satu titik persimpangan antara dengan waktu dengan tanpa waktu. Psikologi mistikal, memperhitungkan adanya suatu derajat transendental, yang tersembunyi, yang melampaui ambang. Ia menyetujui suatu terobosan dan tidak pernah menyokong dirinya sendiri begitu saja, tanpa verifikasi konstan. Dalam banyak hal, suatu rahasia yang dijaga ketat —yang hanya dimaksudkan bagi yang berkompeten saja— eksperimen punya resiko-resiko dan bisa menumbangkan disiplin manapun juga. Pembangkitan enerji, infusi kemurahan-hati, dan berkonfrontasi dengan beberapa tataran realitas, menciptakan ketegangan-ketegangan dan kesulitan-kesulitan. Makanya, desakan ditujukan pada pola sedang-sedang saja dan seimbang dalam berbagai hal. “Semakin tinggi cinta-kasih, semakin besar juga kepedihan,” suatu seruan yang dinasehatkan oleh mistikus Jerman abad XIII, Mechthild von Magdeburg. “Percayailah anak-anak”, tulis seorang mistikus Jerman abad XIV, Johann Tauler, “seseorang yang hendak tahu banyak tentang masalah-masalah ini seringkali harus diam di ranjangnya, sejauh kerangka ragawinya tidak bisa mendukungnya disini”.

Pergolakan-pergolakan di dalam “penyehatan penyakit mistik” merupakan suatu bagian dari pengembangan kesadaran, yang harus bergerak melalui dan menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan lembam dan bertahan di dalam sistem, dan terhadap sebentuk ketidak-mampuan dalam mendukung kekuatan yang timbul serta ketidak-mampuan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Ketidak-seimbangan sekecil apapun sekarang atau nanti, seharusnya tidak mengejutkan siapapun (diantara para mistikus ini). Kemungkinan berupa rangkaian-rangkaian kesadaran tanpa pikir, merupakan satu dari alasan-alasan dasar psikologi yoga dan mistikal. Ia menyusun sebentuk bantahan terhadap rumusan filsuf Prancis abad XVII, René Descartes: cogito ergo sum (“Saya berpikir; karenanyalah, saya ada”). Keberadaan bisa eksis tanpa cogito (atau rasio, penalaran) dalam sebentuk realisasi langsung terhadap hal-hal, yang merupakan fungsi dari intuisi, prajña.

dikutip dari :

http://groups.yahoo.com/group/BeCeKa/